Jumat, 20 Februari 2009

ketel uap

Pembangkit Listrik Tenaga Uap
Siklus Alam dan Siklus Hidrologam
Zat-zat Kontaminasi Air Alam 1. Zat Padat terlarut : zat padat terlarut menunjukkan jumlah konsentrasi garam terlarut dalam air. Jumlah zat padat terlarut sering juga dinyatakan dalam bentuk hantaran listrik air yang dinyatakan dalam mililhos/Cm pada 25° C. Banyaknya konsentrasi garam-garam dalam air, bervariasi dalam jenis dan jumlahnya bergantung pada keadaan geologi dari tanah tempat air alam tersebut didapat. Garam-garam yang selalu ada biasanya, Bicarbonat, HCO3; Khlorida, Cl; Sulfat, SO4; nitrat NO3 dari Kalsium, Ca ;magnesium, Mg dan natrium, Na. Juga terdapat besi, Fe; Mangan, Mn dan aluminium, Al. 2. Gas Terlarut : Gas terlarut dalam air alam biasanya Karbondioksida, CO2; Oksigen, O2; Hydrogen Sulfat, H2S dan Amonia, NH3. Karbon dioksida dan oksigen sangat berperan dalam proses terjadinya korosi. 3. Zat Padat tersuspensi : Kadang-kadang pasir, tanah dan hasil pelapukan tumbuhan merupakan zat padat yang tidak larut dalam air dan berada sebagai suspensi. Zat-zat Kontaminasi Air Alam 4. Cairan : Kadang-kadang terdapat zat seperti asam lemak, minyak, dan cairan hasil proses ekstraksi dari tanah atau tanaman dan protein. 5. Micro Organisme : Air alam selalu mengandung bakteri, (bakteri air, bakteri tanah, bakteri proses ekstraksi dari tanah atau tanaman dan protein)
Air Konsentrasi Padat Terlarut mg/I (Fresh) Moderately Saline Very Saline Briny < 1.000 3.000 – 10.000 10.000 – 35.000 > 35.000
(Brakish) (Salty) (Brine) 1.000 – 10.000 10.000 – 100.000 >100.000
Zat Padat Terlarut Material Inti Material Bentukan Dampak Keterangan Kesadahan Ca & Mg Ca(HCO3)2 Mg(HCO3)2 CaSO4 CaCl2? kerak Pelunakan dan internal treatment Na Alkaliniti NaHCO3 Na2CO3 NaOH Foaming Membentuk CO2 dari karbonat PH turun Korosi Penukaran ion ( pengolahan ) SO4 Kerak keras dengan adanya Ca Penukaran ion ( pengolahan ) Cl Priming Foaming Penukaran ion ( pengolahan ) Fe Mn Deposit Eration+ Pengulaman SiO2? Kerak ( turbin ) Penukaran ion ( pengolahan )
Gas Terlarut Tipe Gas Akibat Menghilangkan H2S Korosi Erasi Filtrasi Khlorinasi CO2 Menurunkan PH Korosi Erasi Netralisasi dengan waktu Dearasi CO2 Korosi & Fiting Dearasi Pengolahan dengan Kimia
Na2SO3
N2H4?
PENGOLAHAN AIR
AIR Air Ketel Air Pendingin
Pengolahan Pengolahan• Destilasi - Pengendapan • Elektrolisa - Khlorinasi • Pembekuan - FeSO4 • Demineralisasi • Osmosa Bolak Balik • Cara Kimia Kerusakan Akibat Kualitas Air 1. Kerak/Deposit Kerak pada ketel disebabkan oleh terbentuknya endapan dari air, langsung pada permukaan pemindah panas atau oleh suspensi air yang menempel pada permukaan logam menjadi keras dan lengket. Penguapan pada ketel akan menyebabkan memperbanyak kontaminan ( kotoran ). 2. Korosi Korosi adalah kerusakan-kerusakan yang timbul pada logam yang disebabkan karena terjadinya reaksi kimia antara permukaan logam dengan media sekelilingnya. Peristiwa korosi dapat menjadi lebih cepat dengan meningkatnya konsentrasi oksigen. 3. Keretakan oleh Basa Keretakan ini disebabakan oleh kandungan basa (NaOH) yang terdapat dalam air ketel. Kondisi yang menyebabkan terjadinya keretakan basa ini adalah, logam mendapat tekanan. Kandungan basa air, trase silica dalam air ketel dan beberapa mekanisme seperti kebocoran kecil untuk membiarkan air ketel untuk menjadi terpusat pada logam yang mengalami tekanan. Kelebihan hidroksida dalam air ketel adalah hasil dari irolisa natrium fosfat yang ditambahkan untuk pengaturan pH atau pengurangan kalsium dan magnesium.
Na3PO4 + H2O Na2HPO4 + NaOH Untuk mencegah keretakan basa adalah dengan cara : • Menjaga konsentrasi agar konsenrasi dan perbandingan konsentrasi zat-zat khusus dalam boiler. • Menggunakan Feed Water yang dihasilkan dari pengolahan air yang tidak mengandung Hidroksida bebas. KERAK • Karbonat ( CaCO3 ) • Sulfat ( CaSO4 ) • Silica ( SiO2? ) • Besi ( Fe2O3? )
Korosi karena CO2
Bikarbonat yang ada dalam feed water, bila dipanaskan pada tekanan tertentu akan mengahasilkan Co2. Co2 dengan air membentuk H2CO3 yang bersifat asam. Asam ini bereaksi dengan Fe dan logam lain membentuk Bikarbonat. Bikarbonat terurai dengan panas dan mengeluarkan gas CO2. Gas ini bergabung dengan air membentuk asam Bikarbonat. Siklus ini terbentuk “ Berulang Terus”.
Fe + 2 H2CO3 Fe(HCO3)2 + H2
Fe(HCO3)2 + 2 H2O + panas Fe(OH)2 + 2 H2O + CO2 Korosi juaga disebabkan karena : • H2S : Hidrogen Sulfida • SO2 : Sulfur Dioksida • NH3 : Amoniak
Keretakan Karena Basa
3 ( tiga ) kondisi menyebabkan keretakan basa : 1. Stress Dari dalam maupun dari luar akibat ekspansi. 2. Adanya kebocoran air ketel pada daerah yang mengalami stress Hasilnya uap akan menghilang dan tinggal air yang mengandung banyak zat padat pada titik kebocoran. 3. NaOH bebas dalam air ketel NaOH terkumpul pada daerah kebocoran dan menyebabkan kerusakan terhadap logam. Semua kondisi ini harus ada secara simultan.
Pengolahan Air
Untuk mendapatkan air yang memenuhi persyaratan untuk keperluan ketel uap (boiler) dalam suatu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) diperlukan Water Treatment. Ada 2 cara pengolahan, yaitu; • Pengolahan yang dilakukan diluar Boiler ( external treatment ). • Pengolahan didalam Boiler ( internal treatment ).
ALKALINITI
Alkaliniti dalam Raw Water, Softtened Water, Feed Water dan Boiler Water untuk control langsung terhadap korosi dan control tidak langsung terhadap deposit, sebagai contoh nilai-nilai penentuan ini dapat dipakai unuk menghitung banyaknya alkali yang ditambahkan pada air asam, untuk mengurangi agresif atau banyaknya Ca(OH)2 dan Na2CO3 yang dipakai dalam proses pengolahan air. Alkaliniti berhubungan dengan pH air, Alkaliniti tidak besar berarti pH air tinggi dan sebaliknya. Untuk itu alkaliniti air ketel harus diatur sedemikian rupa sehingga pH air tidak air tidak terlalu rendah dan terlalu tinggi. Karena pada pH rendah akan terjadi korosi dan pada pH tinggi akan terjadi buih. Dibawah ini diberikan batas alkaliniti air ketel berdasarkan tekanan uap.
Tekanan (Psi) Alkaliniti total, Sebagai CaCo3? (ppm) Minimum maksimum 0 – 300 200 700 301 -450 160 600 451 - 600 120 500 601 -750 120 400 751- 900 120 300
Kesadahan
Penentuan kesadahan dalam air ketel yaitu untuk dasar perhitungan jumlah bahan kimia yang dibutuhkan pada internal treatment (senyawa fosfat). Karena akibat kesadahan ini adalah terbentuknya kerak, maka air ketel sebaliknya mempunyai kesadahan nol.
Oksigen terlarut
Penentuan oksigen terlarut diperlukan untuk dasar perhitungan jumlah bahan kimia yang dibutuhkan pada internal treatment. Adanya oksigen terlarut akan mengakibatkan terjadinya korosi, untuk itu konsentrasinya harus dibatasi. Biasanya nilainya dibatasi dibawah 0,02 mg/l dan untuk tekanan tinggi harus dibawah 0,005mg/l.
Fosfat
Penentuan fosfat diperlukan untuk mengontrol pembentukan kerak dan keretakan, sebagai contoh dalam pemakaian fosfat sebagai ” internal treatment “ untuk mengontrol kerak, maka kelebihan sedikit fosfat harus dipertahankan dalam ketel. Unuk mengontrol keretakan, maka harus dijaga hubungan antara alkaliniti dan fosfat( ukuran pH) sehingga tidak terjadi hidroksida bebas. Konsentrasi fosfat dalam air ketel berkisar antara 30-60 ppm PO4.
Khlorida
Hampir semua air mengandung garam khlorida, sehingga konsentrasi garam khlorida dapat dipakai untuk memperkirakan banyaknya zat padat terlarut dalam air. Pada PLTU, penguapan yang terus menerus pada boiler akan mengakibatkan zat padat terlarut akan makin banyak (konsentrasinya bertambah). Dengan mengontrol konsentrasi khlorida dalam air ketel, maka dapat diperkirakan zat padat terlarutnya dan selanjutnya dapat dilakukan blowdown untuk menguranginya. Zat padat terlarut dalam air ketel, dibatasi sbb: No Tekanan Zat Padat Terlarut (ppm) Silika SiO2? (ppm) 1 0-200 4000 150 2 201-300 3500 100 3 301-600 3000-2000 50-40 4 601-900 2000-1400 30-20 5 901-1100 1400-1000 20-10 6 1100-1500 1000-750 10-5
Hidrasin
Penentuan Hidrasin untuk mengontrol korosi dengan mempertahankan konsentrasi hidrasin sedikit kelebihan dalam air ketel.
pH
Pengukuran pH diperlukan untuk mengontrol korosi atau kerak. Pada pH rendah akan terjadi korosi dan pada pH tinggi akan terjadi kerak. Selain itu pH tinggi menimbulkan busa, sehingga akan menimbulkan carry over.
Konduktiviti
Konduktiviti merupakan kesanggupan air untuk menghantarkan arus listrik. Dalam larutan, daya hantar listrik ini disebabkan oleh adanya ion-ion sehingga dengan mengukur konduktiviti dapat diketahui jmlah zat padat terlarut didalamnya. Kemurnian uap dapat dilihat dengan mengukur konduktiviti kondensat yang merupakan taksiran zat padat yang carry over sebagai uap tidak murni. No Parameter Air Kegunaan Dalam Kontrol Korosi Kerak Keretakan Carry Over 1 Alkalinity X X - - 2 Hidrosida X X - X 3 Fosfat - X X - 4 Kesadahan (Ca,Mg) - X - - 5 Hidrasin (N2H4) X - - -
PENGOLAHAN AIR
Demineralisasi Water Sistem
Macam-macam cara dipakai untuk melakukan desalinasi • Cara Destilasi • Cara Elektrolisa • Cara Pembekuan • Cara Osmosa Bolak-balik • Cara Kimia • Cara Demineralisasi
Cara Destilasi
Dalam metode ini air garam diubah menjadi air tawar. Prinsipnya sederhana yaitu dengan memanaskan air laut dan uapnya di dinginkan kembali. Untuk membuat air tawar dari air laut dalam jumlah besar. Air laut dimasukkan kedalam bejana dan dipanaskan oleh uap melalui pipa uap. Panas uap ini lewat melalui pipa yang mendidihkan air laut. Karena pengaruh panas ini air laut mulai menguap. Uap air laut dimasukkan ke bejana kedua yang dilengkapi dengan instalasi air pendingin. Panas uap diserap oleh air garam dan mengembun membentuk air baku. Pada proses ini akan terjadi masalah yaitu terbentuknya kerak di permukaan logam (pipa). Kerak ini keras dan sukar untuk dihilangkan dan juga merupakan penghantar pnas yang jelek. Untuk mengatasi hal ini permukaan logam dilapisi dengan Teflon.
Cara Demineralisasi
Garam dari air dapat juga dapat dihilangkan dengan memakai ion. Unit penukar ion dilengkapi dengan penyaring pasir. Penukar ion terdiri dari penukat kation dan penukar anion. Penukar kation yang mengambil ion positif dari air dan penukar anion mengambil ion negatif dari air. Bahan penukar ini adalah resin yang apabila telah jenuh dapat diaktifkan kembali setelah diregenerasi. Penukar kation di regenerasi dengan asam sulfat (H2SO4) sedang penukar anion diregenerasi dengan menggunakan natrium hidroksida (NaOH).
Reaksi Penukar Kalor
H2SO4 + 2 ROH R2SO4 + 2 H2O
HCl + ROH RCl + H2O
HNO3 + ROH RNO3 + H2O Karena anion yang dipakai alam resin adalh “ basa kuat “, maka akan terjadi juga penghilangan asam lemah yaitu asam karbonat dan asam silikat, sesuai dengan reaksi :
H2CO3 + ROH RHCO3 + H2O
H2SiO3? + ROH RHSiO3 + H2O

corrosion

Background
Although one of the main reasons why stainless steels are used is corrosion resistance, they do in fact suffer from certain types of corrosion in some environments and care must be taken to select a grade which will be suitable for the application. Corrosion can cause a variety of problems, depending on the applications:
• Perforation such as of tanks and pipes, which allows leakage of fluids or gases,
• Loss of strength where the cross section of structural members is reduced by corrosion, leading to a loss of strength of the structure and subsequent failure,
• Degradation of appearance, where corrosion products or pitting can detract from a decorative surface finish,
• Finally, corrosion can produce scale or rust which can contaminate the material being handled; this particularly applies in the case of food processing equipment.
Corrosion of stainless steels can be categorised as one of:-
• General Corrosion
• Pitting Corrosion
• Crevice Corrosion
• Stress Corrosion Cracking
• Sulphide Stress Corrosion Cracking
• Intergranular Corrosion
• Galvanic Corrosion
• Contact Corrosion
General Corrosion
Corrosion whereby there is a general uniform removal of material, by dissolution, eg when stainless steel is used in chemical plant for containing strong acids. Design in this instance is based on published data to predict the life of the component.
Published data list the removal of metal over a year. Tables of resistance to various chemicals are published by various organisations and a very large collection of charts, lists, recommendations and technical papers are available though stainless steel manufacturers and suppliers.
Pitting Corrosion
Under certain conditions, particularly involving high concentrations of chlorides (such as sodium chloride in sea water), moderately high temperatures and exacerbated by low pH (ie acidic conditions), very localised corrosion can occur leading to perforation of pipes and fittings etc. This is not related to published corrosion data as it is an extremely localised and severe corrosion which can penetrate right through the cross section of the component. Grades high in chromium, and particularly molybdenum and nitrogen, are more resistant to pitting corrosion.
Pitting Resistance Equivalent number (PRE)
The Pitting Resistance Equivalent number (PRE) has been found to give a good indication of the pitting resistance of stainless steels. The PRE can be calculated as:
PRE = %Cr + 3.3 x %Mo + 16 x %N
One reason why pitting corrosion is so serious is that once a pit is initiated there is a strong tendency for it to continue to grow, even although the majority of the surrounding steel is still untouched.
The tendency for a particular steel to be attacked by pitting corrosion can be evaluated in the laboratory. A number of standard tests have been devised, the most common of which is that given in ASTM G48. A graph can be drawn giving the temperature at which pitting corrosion is likely to occur, as shown in Figure 1.

Figure 1. Temperature at which pitting corrosion is likely to occur

This is based on a standard ferric chloride laboratory test, but does predict outcomes in many service conditions.
Crevice Corrosion
The corrosion resistance of a stainless steel is dependent on the presence of a protective oxide layer on its surface, but it is possible under certain conditions for this oxide layer to break down, for example in reducing acids, or in some types of combustion where the atmosphere is reducing. Areas where the oxide layer can break down can also sometimes be the result of the way components are designed, for example under gaskets, in sharp re-entrant corners or associated with incomplete weld penetration or overlapping surfaces. These can all form crevices which can promote corrosion. To function as a corrosion site, a crevice has to be of sufficient width to permit entry of the corrodent, but sufficiently narrow to ensure that the corrodent remains stagnant. Accordingly crevice corrosion usually occurs in gaps a few micrometres wide, and is not found in grooves or slots in which circulation of the corrodent is possible. This problem can often be overcome by paying attention to the design of the component, in particular to avoiding formation of crevices or at least keeping them as open as possible. Crevice corrosion is a very similar mechanism to pitting corrosion; alloys resistant to one are generally resistant to both. Crevice corrosion can be viewed as a more severe form of pitting corrosion as it will occur at significantly lower temperatures than does pitting.
Stress Corrosion Cracking (SCC)
Under the combined effects of stress and certain corrosive environments stainless steels can be subject to this very rapid and severe form of corrosion. The stresses must be tensile and can result from loads applied in service, or stresses set up by the type of assembly e.g. interference fits of pins in holes, or from residual stresses resulting from the method of fabrication such as cold working. The most damaging environment is a solution of chlorides in water such as sea water, particularly at elevated temperatures. As a consequence stainless steels are limited in their application for holding hot waters (above about 50°C) containing even trace amounts of chlorides (more than a few parts per million). This form of corrosion is only applicable to the austenitic group of steels and is related to the nickel content. Grade 316 is not significantly more resistant to SCC than is 304. The duplex stainless steels are much more resistant to SCC than are the austenitic grades, with grade 2205 being virtually immune at temperatures up to about 150°C, and the super duplex grades are more resistant again. The ferritic grades do not generally suffer from this problem at all.
In some instances it has been found possible to improve resistance to SCC by applying a compressive stress to the component at risk; this can be done by shot peening the surface for instance. Another alternative is to ensure the product is free of tensile stresses by annealing as a final operation. These solutions to the problem have been successful in some cases, but need to be very carefully evaluated, as it may be very difficult to guarantee the absence of residual or applied tensile stresses.
From a practical standpoint, Grade 304 may be adequate under certain conditions. For instance, Grade 304 is being used in water containing 100 - 300 parts per million (ppm) chlorides at moderate temperatures. Trying to establish limits can be risky because wet/dry conditions can concentrate chlorides and increase the probability of stress corrosion cracking. The chloride content of seawater is about 2% (20,000 ppm). Seawater above 50°C is encountered in applications such as heat exchangers for coastal power stations.
Recently there have been a small number of instances of chloride stress corrosion failures at lower temperatures than previously thought possible. These have occurred in the warm, moist atmosphere above indoor chlorinated swimming pools where stainless steel (generally Grade 316) fixtures are often used to suspend items such as ventilation ducting. Temperatures as low as 30 to 40°C have been involved. There have also been failures due to stress corrosion at higher temperatures with chloride levels as low as 10 ppm. This very serious problem is not yet fully understood.
Sulphide Stress Corrosion Cracking (SSC)
Of greatest importance to many users in the oil and gas industry is the material's resistance to sulphide stress corrosion cracking. The mechanism of SSC has not been defined unambiguously but involves the conjoint action of chloride and hydrogen sulphide, requires the presence of a tensile stress and has a non-linear relationship with temperature.
The three main factors are Stress Level, Environment and Temperature.
Stress Level
A threshold stress can sometimes can be identified for each material - environment combination. Some published data show a continuous fall of threshold stress with increasing H2S levels. To guard against SSC NACE specification MR0175 for sulphide environments limits the common austenitic grades to 22HRC maximum hardness.
Environment
The principal agents being chloride, hydrogen sulphide and pH. There is synergism between these effects, with an apparently inhibiting effect of sulphide at high H2S levels.
Temperature
With increasing temperature, the contribution of chloride increases but the effect of hydrogen decreases due to its increased mobility in the ferrite matrix. The net result is a maximum susceptibility in the region 60-100°C. A number of secondary factors have also been identified, including amount of ferrite, surface condition, presence of cold work and heat tint at welds.
Intergranular Corrosion
Intergranular corrosion is a form of relatively rapid and localised corrosion associated with a defective microstructure known as carbide precipitation. When austenitic steels have been exposed for a period of time in the range of approximately 425 to 850°C, or when the steel has been heated to higher temperatures and allowed to cool through that temperature range at a relatively slow rate (such as occurs after welding or air cooling after annealing), the chromium and carbon in the steel combine to form chromium carbide particles along the grain boundaries throughout the steel. Formation of these carbide particles in the grain boundaries depletes the surrounding metal of chromium and reduces its corrosion resistance, allowing the steel to corrode preferentially along the grain boundaries. Steel in this condition is said to be "sensitised".
It should be noted that carbide precipitation depends upon carbon content, temperature and time at temperature. The most critical temperature range is around 700°C, at which 0.06% carbon steels will precipitate carbides in about 2 minutes, whereas 0.02% carbon steels are effectively immune from this problem.
It is possible to reclaim steel which suffers from carbide precipitation by heating it above 1000°C, followed by water quenching to retain the carbon and chromium in solution and so prevent the formation of carbides. Most structures which are welded or heated cannot be given this heat treatment and therefore special grades of steel have been designed to avoid this problem. These are the stabilised grades 321 (stabilised with titanium) and 347 (stabilised with niobium). Titanium and niobium each have much higher affinities for carbon than chromium and therefore titanium carbides, niobium carbides and tantalum carbides form instead of chromium carbides, leaving the chromium in solution and ensuring full corrosion resistance.
Another method used to overcome intergranular corrosion is to use the extra low carbon grades such as Grades 316L and 304L; these have extremely low carbon levels (generally less than 0.03%) and are therefore considerably more resistant to the precipitation of carbide.
Many environments do not cause intergranular corrosion in sensitised austenitic stainless steels, for example, glacial acetic acid at room temperature, alkaline salt solution such as sodium carbonate, potable water and most inland bodies of fresh water. For such environments, it would not be necessary to be concerned about sensitisation. There is also generally no problem in light gauge steel since it usually cools very quickly following welding or other exposure to high temperatures.
It is also the case that the presence of grain boundary carbides is not harmful to the high temperature strength of stainless steels. Grades which are specifically intended for these applications often intentionally have high carbon contents as this increases their high temperature strength and creep resistance. These are the "H" variants such as grades 304H, 316H, 321H and 347H, and also 310. All of these have carbon contents deliberately in the range in which precipitation will occur.
Galvanic Corrosion
Because corrosion is an electrochemical process involving the flow of electric current, corrosion can be generated by a galvanic effect which arises from the contact of dissimilar metals in an electrolyte (an electrolyte is an electrically conductive liquid). In fact three conditions are required for galvanic corrosion to proceed; the two metals must be widely separated on the galvanic series (see Figure 2), they must be in electrical contact and their surfaces must be bridged by an electrically conducting fluid. Removal of any of these three conditions will prevent galvanic corrosion.

Figure 2. Galvanic series for metals in flowing sea water.
The obvious means of prevention is therefore to avoid mixed metal fabrications. Frequently this is not practical, but prevention can also be by removing the electrical contact - this can be achieved by the use of plastic or rubber washers or sleeves, or by ensuring the absence of the electrolyte such as by improvement to draining or by the use of protective hoods. This effect is also dependent upon the relative areas of the dissimilar metals. If the area of the less noble material (the anodic material, further towards the right in Figure 2) is large compared to that of the more noble (cathodic) the corrosive effect is greatly reduced, and may in fact become negligible. Conversely a large area of noble metal in contact with a small area of less noble will accelerate the galvanic corrosion rate. For example it is common practice to fasten aluminium sheets with stainless steel screws, but aluminium screws in a large area of stainless steel are likely to rapidly corrode.
Contact Corrosion
This combines elements of pitting, crevice and galvanic corrosion, and occurs where small particles of foreign matter, in particular carbon steel, are left on a stainless steel surface. The attack starts as a galvanic cell - the particle of foreign matter is anodic and hence likely to be quickly corroded away, but in severe cases a pit may also form in the stainless steel, and pitting corrosion can continue from this point. The most prevalent cause is debris from nearby grinding of carbon steel, or use of tools contaminated with carbon steel. For this reason some fabricators have dedicated stainless steel workshops where contact with carbon steel is totally avoided.
All workshops and warehouses handling or storing stainless steels must also be aware of this potential problem, and take precautions to prevent it. Protective plastic, wood or carpet strips can be used to prevent contact between stainless steel products and carbon steel storage racks. Other handling equipment to be protected includes fork lift tynes and crane lifting fixtures. Clean fabric slings have often been found to be a useful alternative.
Passivation and Pickling
If stainless steel does become contaminated by carbon steel debris this can be removed by passivation with dilute nitric acid or pickling with a mix of hydrofluoric and nitric acids.

http://www.azom.com/details.asp?articleID=1177#_General_Corrosion

KOROSI MERATA

Definisi
Korosi adalah suatu reaksi redoks antara logam dengan berbagai zat yang ada di lingkungannya sehingga menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki. Dalam kehidupan sehari-hari korosi kita kenal dengan sebutan perkaratan.
Salah bentuk korosi yang terjadi pada logam adalah korosi merata. Korosi merata adalah jenis korosi dimana pada korosi tipe ini laju korosi yang terjadi pada seluruh permukaan logam atau paduan yang terpapar atau terbuka ke lingkungan berlangsung dengan laju yang hampir sama. Hampir seluruh permukaan logam menampakkan terjadinya proses korosi.
Penyebab
Korosi merata terjadi karena poses anodik dan katodik yang berlangsung pada permukaan logam terdistribusi secara merata. Ini terjadi karena adanya pengaruh dari lingkungan sehingga kontak yang berlangsung mengakibatkan seluruh permukaan logam terkorosi. Korosi seperti ini umumnya dapat kita temukan pada baja di atmosfer dan pada logam atau paduan yang aktif terkorosi (potensial korosinya berada pada daerah kestabilan ionnya dalam diagram potensial-pH).
Kerusakan material yang diakibatkan oleh korosi merata umumnya dinyatakan dengan laju penetrasi yang ditunjukkan sebagai berikut :
Ketahanan Relatif Korosi mpy mm/yr m/yr nm/h
Outstanding < 1 < 0.02 < 25 < 2
Excellent 1-5 0.02-0.1 25-100 2-10
Good 5-20 0.1-0.5 100-500 10-150
Fair 20-50 0.5-1 500-1000 50-150
Poor 50-200 1-5 1000-5000 150-500
Unexceptable 200+ 5+ 5000+ 500+
Secara teknik korosi merata tidak berbahaya karena laju korosinya dapat diketahui dan diukur dengan ketelitian yang tinggi. Kegagalan materi akibat serangan korosi ini dapat dihindari dengan pemeriksaan dan monitoring secara teratur

Mekanisme
Paduan yang terkorosi merata
Paduan
Skematik penampang logam yang terkorosi merata
Korosi pada logam terjadi karena adanya reaksi redoks antara logam dengan lingkungannya. Korosi merata berlangsung secara lambat dan korosi ini dipicu oleh korosi yang mula-mula terjadi pada sebagian permukaan logam sehingga dengan bertambahnya waktu akan menyebar ke seluruh permukaan logam. Korosi merata yang terjadi pada logam besi prosesnya bisa digambarkan sebagai berikut :
reaksi yang terjadi adalah :
Fe(s) Fe2+ + 2e (reaksi oksidasi )
O2 + 2H2O + 4 e 4 – OH (reaksi reduksi)
2Fe + O2 + 2H2O 2Fe(OH)2

Pengendalian
Laju korosi dapat diturunkan dengan perlindungan melalui penambahan inhibitor pada larutan. Teknik-teknik perlindungan seperti proteksi katoda dan anoda, pelapisan, inhibitor, dan pemilihan material sering digunakan sebagai cara perlindungan korosi paling efektif.
Pengetahuan mengenai karakteristik korosi dan laju korosi pada logam dan paduan logam sebagaimana ditunjukkan dalam literatur atau yang diukur melalui teknik elektrokimia ataupun melalui pengurangan berat logam memungkinkan dilakukannya pemilihan material yang baik. Cara terbaik untuk menghindari terjadinya korosi merata adalah dengan melakukan penanganan langsung pada bagian logam yang terkorosi sebelum korosi ini menyebar ke semua permukaan logam.
Kesimpulan
1. Korosi merata dapat terjadi pada logam dan paduan logam karena reaksi oksidasi dan reduksinya tersebar secara merata pada logam dengan laju korosi yang relatif sama.
2. Logam yang terkorosi merata terjadi akibat seluruh permukaan logam kontak dengan lingkungannya.
Daftar Pustaka
The Electrochemistry of Corrosion
The Technology and Evaluation of Corrosion
Purba,Michael.Ilmu Kimia Untuk SMU Kelas 3. Erlangga:Jakarta.1997.
Karakterisasi perbandingan material baja karbon rendah dan baja nirkarat di lingkungan 5% klorida dengan uji kabut garam
Gadang Priyotomo dan Hartati Soeroso
Pusat Penelitian Metalurgi-LIPI
Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang
Banten 15134


Abstrak
Lingkungan agresif yang mengandung ion klorida mengakibatkan korosi pada logam. Pemilihan material diperlukan untuk mencegah terjadinya korosi pada lingkungan yang mengandung ion klorida. Pengujian kabut garam dengan standar ASTM B 117 dilakukan dengan waktu ekspos 24, 48, 72, 96, 168 jam terhadap logam baja karbon rendah, AISI 304 dan AISI 316L.
Baja karbon rendah rentan terhadap korosi dengan laju korosi 143,6726 mdd. Laju korosi logam AISI 304 lebih tinggi (0,132613 mdd) dibandingkan AISI 316L (0,102045 mdd). Urutan ketahanan korosi logam yaitu Baja karbon rendah <>
Kata kunci : Uji kabut garam, Baja karbon rendah, AISI 304, AISI 316L, klorida, laju korosi
Abstract
Aggresive environment containing ion of chloride result metal corrosion. Material selection needed to prevent the happening of corrosion at environment containing chloride ion. Examination of salt fog with standard of ASTM B 117 conducted with time of exposure 24, 48, 72, 96, 168 hours towards low carbon steel, AISI 304 and AISI 316L
Low carbon steel is susceptible to corrosion with corrosion rate 143,6726 mdd. Corrosion rate of AISI 304 is higher (0,132613 mdd) than AISI 316L (0,102045 mdd). Series of metal corrosion resistance are low carbon steel <>
Keyword: Salt fog testing, low carbon steel, AISI 304, AISI 316L, chloride, corrosion rate

Pendahuluan
Biaya untuk metode kontrol korosi dan servis akibat proses korosi pada seluruh logam komersial di Amerika Serikat pada tahun 1998 berjumlah 7,7 milyar dolar amerika. Di Jepang, pada tahun 1997 biaya untuk penggantian logam akibat proses korosi sekitar 443,24 milyar yen. Sedangkan di Indonesia belum ada nilai biaya pasti akibat proses korosi.
Pada baja karbon rendah dengan kadar pemadu terbatas umumnya di bawah 2% dari total logam dasar Fe, logam tersebut sangat rentan terjadinya korosi karena rendahnya unsur – unsur pemadu untuk meningkatkan ketahanan korosi. Unsur-unsur pemadu tersebut adalah tembaga,krom, nikel, molybdenum dan fosfor dalam jumlah tertentu. Setiap logam mempunyai unsur ikutan dengan nilai yang sangat rendah sehingga tidak berpengaruh terhadap ketahanan korosi.
Faktor penting dalam korosi lingkungan adanya hujan, kabut atau pengembunan akibat kelembaban relatif yang tinggi. Dalam suatu struktur harus diperhatikan rancangan struktur agar mengalir dengan bebas air dan cukup ventilasi untuk mengeringkan seluruh permukaan. Kabut dan pengembunan bisa mengakibatkan korosi membasahi seluruh permukaan. Selapis tipis air yang tidak kelihatan sudah cukup membuat suatu sel korosi yang baik. Adanya tiga faktor sel korosi yaitu anoda, katoda dan elektrolit. Lapisan tipis embun yang terbentuk dari embun dari kabut atau dari kelembaban tinggi mudah jenuh dengan oksigen dari udara sehingga terjadi daerah katodik. Laju atau tingkat keparahan suatu logam pada korosi lingkungan umumnya ditentukan konduktivitas elektrolit yang terlarut. Salah satunya yaitu lingkungan yang mengandung ion-ion klorida atau lingkungan laut.
Pada lingkungan laut dengan kadar garam hingga 3,5% atau lingkungan dengan mempunyai kadar ion klorida uang cukup tinggi, baja karbon rendah mengalami kegagalan material akibat korosi yang menyeluruh ke seluruh permukaan logam tergantung dari konsentrasi elektrolit di lingkungan. Aplikasi baja karbon rendah di lingkungan dengan kadar ion klorida lebih dari 3% banyak di pakai pada shipbuilding dan marine equipment. Korosi lingkungan (atmospheric corrosion) harus diperhatikan dalam spesifikasi logam baja karbon khususnya adanya ion klorida.
Pencegahan korosi pada korosi lingkungan dilakukan dengan perbagai cara yaitu dengan pemilihan logam tahan korosi dan lapis lindung. Salah satu pencegahan yang di bahas dalam penelitian ini adalah pemilihan logam tahan korosi. Logam tahan korosi antara lain baja nirkarat AISI 304 dan AISI 316L. baja nirkarat tersebut. Logam–logam tersebut sangat tahan terhadap korosi lingkungan khususnya lingkungan yang mengandung ion-ion klorida hingga 3,5%wt. Ini disebabkan adanya unsur-unsur pemadu kromium lebih dari 4 % yang akan meningkatkan ketahanan korosi pada lingkungan agresif, unsur nikel juga meningkatkan ketahanan korosi. Pada logam AISI 316L, unsur nikel lebih banyak ditambahkan dibandingkan logam AISI 304 dan juga unsur molibdenum untuk meningkatkan ketahanan korosi suhu tinggi serta tahan terhadap proses pickling larutan asam. Gambar 1 memperlihatkan urutan ketahanan logam pada lingkungan laut atau kadar ion klorida lebih dari 3%.

Gambar 1. Deret galvanik berbagai logam dalam lingkungan klorida.
Penelitian ini untuk melihat secara awal ketahanan korosi baja karbon rendah, AISI 304 dan AISI 316L di lingkungan agresif NaCl 5% melalui pengujian kabut garam dengan interval 24, 48, 72, 96 dan 168 jam berturut-turut sehingga dihasilkan suatu indikator awal kerusakaan secara kualitatif dan secara kuantitatif melalui nilai kehilangan berat setiap waktu ekspos dan laju korosi logam tersebut. Namun pengujian kabut garam kurang representatif dalam kuantifikasi laju korosi . Dari hasil-hasil ini menyebutkan laju korosi akan turun seiring dengan waktu ekspos menjadikan penelitian ini sebagai bahan referensi untuk mewakili secara nyata di lingkungan pantai karena kondisi yang konstan dan ekstrem saat pengujian.
Metodologi Penelitian
Pada penelitian tersebut, prosedur penelitian ini menjadi 2 bagian utama yaitu :
1. Preparasi benda uji dan perhitungan
2. Pengujian kabut garam
Preparasi benda uji
•Benda uji berupa pelat dengan ketebalan 7 mm dipotong dengan jig saw dengan ukuran 4 cm x 6 cm sebanyak 5 sampel untuk setiap jenis logam uji.
•Benda uji tersebut dibersihkan dari kotoran (lemak dan debu) dan karat-karat di permukaan logam dengan metode pickling sesuai standar ASTM G1-99.
1. Baja karbon rendah dibersihkan dengan 500 ml Asam klorida (HCl) ditambah inhibitor 3,5 gram Hexamethylene tetramine dengan alat ultrasonic cleaner.
2. Baja nirkarat AISI 304 dan AISI 316L dibersihkan dengan larutan asam nitrat 100 mL dan dilarutkan di dalam aquades hingga 1000 mL kemudian dipanaskan hingga temperatur 600C dengan alat ultrasonic cleaner.
•Semua sampel yang masuk ke larutan pembersih kemudian dibersihkan dengan aquades dan metanol kemudian dikeringkan dengan alat pengering.
•Setelah itu ditimbang berat awal masing-masing sampel sebelum diuji.
Pengujian kabut garam
Pengujian kabut garam memakai standar ASTM B 117-97. Langkah-langkah persiapan alat uji kabut garam (fog salt testing) yaitu:
1. Posisikan sampel pelat hingga 300 terhadap garis vertikal dan ditempatkan pada rak-rak yang terbuat dari polimer.
2. Larutan uji 5%wt sodium klorida (NaCl) dari total larutan sesuai spasifikasi standar ASTM D19 - 93.
3. Temperatur uji dijaga 350 C(950 F) dengan pH 6,5 – 7,2 dan tekanan sebelum ke nozzle antara 69 – 172 kPa/m2.
4. Waktu ekspos sampel uji 24, 48, 72, 96 dan 168 jam secara periodik.
5. Setiap interval pengujian diambil 3 sampel uji yang berbeda. Sampel uji di foto secara makro perbesaran 2 X kemudian dibersihkan melalui proses pickling, setelah itu ditimbang untuk mendapatkan berat setelah pengujian.
6. Setiap interval diulang hingga 168 jam
Perhitungan kehilangan berat (weight loss) dilakukan dengan melakukan perhitungan selisih antara berat awal dan berat akhir terlihat pada rumus perhitungan berikut :
W = WO – WA
W = Selisih berat (gram)
WO = Berat sebelum uji
WA = Berat setelah uji
Perhitungan laju korosi dapat dilakukan dengan melihat rumus laju korosi secara umum.
Laju korosi = (K x W) / (A x T xD)
K = Konstanta (2,40x 106 x D)
T = Waktu ekspos (jam)
A = Luas permukaan logam (cm2)
W = Kehilangan berat (gram)
D = Densitas logam (gram/cm2)
Hasil dan Pembahasan
Korosi lingkungan khususnya lingkungan dengan kadar ion klorida lebih dari 3% sangat berbahaya terhadap logam yang rentan terhadap korosi. Pada logam baja karbon rendah dengan kadar karbon di bawah 0,02%, krom <>
Proses elektrokimia berperan besar terjadinya korosi. Adanya empat komponen terjadinya korosi dalam sel yaitu adanya anoda, katoda, elektrolit dan hubungan listrik. Pada pengujian kabut garam, kondisi pH sekitar 6,5 hingga 7,2 mendekati netral di atmosfer menyebabkan proses reduksi terjadi. Pada baja lunak dengan kadar karbon rendah hingga 0,02%wt sangat rentan terjadinya proses korosi. Pada pengujian kabut garam dengan standar ASTM B 117, baja karbon diekspos interval 24, 48, 72, 96 dan 168 jam di ruang kabut garam dengan kondisi temperatur 350C.
Tabel 1. Kehilangan berat dan laju korosi baja lunak dengan pengujian kabut garam
Waktu ekspos (jam) Berat awal (gram) Berat akhir (gram) Kehilangan berat (gram) Laju korosi (mdd)
24 18,5595 18,3891 0,1704 50,71429
48 19,1145 18,8428 0,2717 80,8631
72 18,6527 18,2 0,4527 134,7321
96 18,8569 18,2916 0,5653 168,244
168 19,3364 18,3828 0,9536 283,8095
Pada Tabel 1 terlihat bahwa makin lama waktu ekpos semakin besar namun laju korosi fluktuasi mendekati turun. Pada waktu ekspos 24 jam, kehilangan berat 0,1704 gram (0,918%) sedangkan waktu ekspos 168 jam sekitar 0,9536 ( 4,93 % berat total). Ini merupakan indikasi awal bahwa baja karbon rendah ini mengalami kerusakan korosi dengan kategori parah terlihat dari laju korosi antara 50,71429 mdd – 3283,8095 mdd.
Kerusakan tersebut disebabkan adanya lingkungan yang berisi kabut air garam yang mengandung ion-ion klorida. Pada Gambar 2, konsumsi oksigen pada reaksi katoda normal dalam larutan netral menyebabkan terjadinya perbedaan konsentrasi oksigen dalam elektrolit. Daerah basah yang berdekatan dengan udara atau antarmuka elektrolit menerima oksigen dari difusi lebih banyak dibandingkan daerah di tengah butiran air yang kurang kadar oksigen. Perbedaan konsentrasi antara daerah tengah dan daerah di pinggir butir air mengalami polarisasi anodik sehingga terlarut menjadi ion-ion logam (Fe+2)
Fe  Fe2+ + 2e-
Ion-ion hidroksil terjadi di daerah katoda, terdifusi ke arah dalam dan bereaksi dengan ion-ion besi yang terdifusi kearah luar. Hasil produk yang tidak larut dalam air di sekeliling lubang akibat lepasnya logam menjadi ion logam sehingga menghambat difusi oksigen dan mempercepat proses anodik di daerah tengah butir air. Proses korosi ini dipercepat dengan adanya ion-ion klorida sebagai katalis. Di bawah ini merupakan reaksi lengkap dari mekanime proses korosi di daerah butir air.
Fe2+ + 2(OH)-  Fe(OH)2  (Ferro hidroksida)
Atau 4Fe + 6H2O + 3O2  4Fe(OH)3 
Berubah menjadi ferrous oksida dengan lepasnya air :
2Fe(OH)3  Fe2O3  + 3H2O
2Fe(OH)2 + Fe2+ + 2H2O  Fe3O4 + 6H+ (Magnetit)
Fe(OH)2 + (OH)-  FeO (OH)  + H2O

Gambar 2. Sel korosi pada butir air di permukaan logam
Secara teori, jika proses elektrokimia terjadi secara simultan dengan menganggap lingkungan yang tetap dan tidak ada perubahan internal pada logam sehingga laju oksidasi konstan akan menurunkan laju korosi pada logam karena lapisan oksida menutupi seluruh permukaan logam sehingga tidak ada ion-ion agresif berdifusi masuk ke dalam logam. Namun kenyataan di lapangan bahwa logam tersebut mengalami perlakuan alam dari luar seperti hujan, angin dan kabut serta internal logam sendiri.
Pada pengujian ASTM B 117, cukup mewakili keadaan tersebut dengan menyemprotkan butir-butir air yang mengandung 5% garam keseluruh ruang uji dengan tekanan dan ukuran butir air tertentu sehingga tekanan di ruang uji lebih tinggi di banding tekanan di luar ruang, terlihat pada Gambar 3, keadaan permukaan benda uji. Produk-produk korosi secara teoritis tersebut berupa di permukaan baja karbon. Pada baja lunak terekpsos 48 jam, permukaan baja mulai tertutup, hanya sedikit yang tidak tertutup dan semakin tebal karat yang terjadi. Saat 72 jam ekspos warna karat mulai bermunculan ditandai warna hitam yang merupakan produk hematit dari reaksi fero hidroksida dan ion besi karena ion besi diberi kesempatan untuk bereaksi dengan senyawa fero hidroksida. Produk karat semakin tebal namun ada sedikit yang tidak tertutup oleh karat.

Gambar 3. Korosi baja lunak dengan uji kabut garam dengan interval 24, 48, 72, 96 dan 168 jam.
Pada ekspos 96 jam, warna hitam produk korosi semakin banyak dan hingga waktu ekspos 168 jam semakin pekat dan banyak. Produk korosi dengan waktu ekspos 168 jam semakin tebal dengan lapisan terdalam Ferro Hidroksida, lapisan kedua hematit dan terluar lapisan feri oksida.
Pencegahaan korosi lingkungan dilakukan dua hal yaitu pemilihan material tahan korosi dan lapis lindung pada logam. Pemilihan material dilakukan dengan melihat spesifikasi dari material tersebut, pada umumnya di lihat dari komposisi pemadu unsur-unsur di dalam logam untuk meningkatkan ketahanan korosi. Logam alternatif antara lain logam AISI 304 dan AISI 316L.
Logam AISI 304 merupakan jenis baja austenitik dengan unsur krom 18% dan 8% nikel yang dikombinasikan dengan 0.08% maksimum karbon terlihat pada Tabel 2.Logam ini merupakan baja nonmagnetik yang tidak bisa diproses perlakuan panas, tetapi hanya bisa melalui proses pengerjaan dingin untuk mendapatkan kekuatan tarik tinggi. Unsur pemadu krom berfungsi untuk meningkatkan ketahanan oksidasi dan korosi. Unsur nikel 8% juga meningkatkan ketahanan korosi untuk media lingkungan reduksi.
Tabel 2. Komposisi kimia AISI 304
Carbon 0.08% max. Silicon 1.00% max.
Manganese 2.00% max. Chromium 18.00-20.00%
Phosphorus 0.045% max. Nickel 8.00-10.50%
Sulfur 0.030% max.
Tabel 3. Kehilangan berat dan laju korosi AISI 304 dengan pengujian kabut garam
Waktu ekspos (jam) Berat awal (gram) Berat akhir (gram) Kehilangan berat (gram) Laju korosi (mdd)
24 19,4129 19,4124 0,005 0,127551
48 18,7751 18,7748 0,003 0,076431
72 19,2094 19,209 0,004 0,102041
96 18,8332 18,8329 0,0003 0,076431
168 19,0186 19,0175 0,0011 0,280612
Pada Tabel 3, nilai kehilangan berat sangat kecil. Pada waktu ekspos 24 jam hanya 0,005 gram (0,02575% dari total berat awal) sedangkan saat waktu ekspos 168 jam sekitar 0,0011 gram (0,00578% dari total berat awal). Faktor laju korosi pada AISI 304 digolongkan tidak parah karena nilai sangat kecil sekitar 0,076431 mdd – 0,280612 mdd.
Faktor ketahanan korosi terhadap lingkungan agresif klorida hingga 5% disebabkan adanya lapisan pasif yang dibentuk karena adanya aerasi oksigen di lingkungan yang mengandung ion klorida. Unsur krom hingga 20% merupakan unsur utama terbentuknya lapisan protektif di permukaan stainless steel. Lapisan protektif tersebut dapat terbentuk dengan nilai minimal 10,5% krom. Namun dengan kadar hingga 20% krom dapat meningkatkan keefektifan lapisan pelindung saat di dalam lingkungan agresif. Unsur krom mempunyai afinitas terhadap oksigen yang tinggi sehingga dapat menghasilkan suatu senyawa oksida krom yang transparan, sangat tipis dan tidak larut. Adanya oksigen dan unsur krom dalam jumlah tertentu dapat mempertahankan dan memperbaiki secara cepat pada temperatur kamar. Nilai kadar karbon rendah maksimal 0,08% juga penentu bertahannya lapisan tersebut karena dapat bersenyawa dengan krom menjadi krom karbida.
Terlihat pada Gambar 4, secara makrostruktur tidak terjadi perubahan warna, tekstur dan nilai kehilangan berat rendah. Indikasi awal bahwa logam AISI 304 dengan interval ekspos 24, 48,72, 96, dan 168 jam tidak mengalami korosi.

Gambar 4. Korosi AISI 304 dengan uji kabut garam dengan interval 24, 48, 72, 96 dan 168 jam.
Pemilihan material lainnya sebagai bahan alternatif yaitu AISI 316L. AISI 316L merupakan baja nirkarat austenitic, non magnetic dan tidak dapat diperlakukan panas (heat treatment). Kadar karbon sangat rendah 0,03%, krom 16 – 18 %.Adanya unsur molibdenum hingga 3% dapat meningkatkan ketahanan korosi, unsur tersebut juga menghambat terjadinya sumuran akibat ion klorida terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kehilangan berat dan laju korosi AISI 316L dengan pengujian kabut garam
Carbon 0.03% max. Silicon 1.00% max.
Manganese 2.00% max. Chromium 16.00-18.00%
Phosphorus 0.045% max. Nickel 10.00-14.00%
Sulfur 0.030% max. Molybdenum 2.00-3.00%
Tabel 5. Kehilangan berat dan laju korosi AISI 316L dengan pengujian kabut garam
Waktu ekspos (jam) Berat awal (gram) Berat akhir (gram) Kehilangan berat (gram) Laju korosi (mdd)
24 35,7009 35,7005 0,0004 0,102041
48 35,8879 35,8876 0,0003 0,0765531
72 35,6574 35,6572 0,0002 0,05102
96 35,5169 35,5166 0,0003 0,076531
168 35,27 35,2692 0,0008 0,204082
Pada tabel 5, rata-rata setiap interval waktu eskpos pengujian, nilai kehilangan berat sangat rendah. Waktu ekspos pengujian 24 jam sekitar 0,0004 gram ( 0,00112% dari total berat awal) sedangkan waktu ekspos pengujian 168 jam sekitar 0,0008 gram (0,00226% dari total berat awal). Laju korosi logam AISI 316L antara 0,05102 mdd – 0,204082 mdd. Indikasi tersebut membuktikan logam AISI 316L tahan terhadap lingkungan agresif ion klorida. Peran lapisan krom oksida juga meningkatkan ketahanan korosi walaupun kadar krom 2% lebih rendah dibandingkan logam AISI 304.
Pada Gambar 5 terlihat bahwa tidak ada kerusakan berarti akibat serangan korosi di lingkungan ion klorida 5%. Tidak ada perubahan warna, tekstur dan nilai selisih berat yang lebih rendah dibandingkan logam AISI 304 dan baja karbon rendah.

Gambar 5. Korosi AISI 316L dengan uji kabut garam dengan interval 24, 48, 72, 96 dan 168 jam.
Unsur pemadu suatu logam merupakan faktor sangat penting dalam ketahanan korosi di lingkungan klorida pada nilai laju korosi rata-rata logam terlihat pada Gambar 6..

Gambar 6. Grafik laju korosi rata-rata pada pengujian kabut garam 5%
Pada Gambar 6, laju korosi paling tinggi adalah baja karbon rendah 143,6726 mdd, laju korosi paling rendah adalah logam AISI 316 0,102045 mdd. Ini mengindikasikan urutan ketahanan korosi pada lingkungan 5% garam dengan Baja karbon rendah > AISI 304 > AISI 316L.
Kesimpulan
Salah satu faktor penting untuk menghindari korosi lingkungan adalah pemilihan logam yang baik. Logam baja lunak lebih rentan terhadap korosi lingkungan (143,6726 mdd), logam AISI 316L dengan laju korosi rata-rata 0,102045 mdd lebih tahan terhadap korosi dibandingkan logam AISI 304 dengan laju korosi rata-rata 0,132613 mdd. Logam pemadu krom, nikel dan molybdenum berpengaruh dalam peningkatan ketahanan korosi.
Daftar Pustaka
1. American Society For Testing and Materials.1999, G1 Practice For Preparing, Cleaning, and Evaluating Corrosion Test Specimens, ASTM Standards Vol.03.02, ASTM Society.
2. American Society For Testing and Materials.1999, B 117 Practice for Operating Salt Spray (Fog) Apparatus, ASTM Standards Vol.03.02, ASTM Society.
3. Bryson,James.1999, Corrosion of Carbon Steels, ASM Handbook Vol.13,ASM International.
4. Chamberlain. 1988, Corrosion for Students of Science and Engineering, Longman Group, UK
5. Fontana. 1978, Corrosion Engineering. McGraw-Hill International, New York.
6. Jaffre Dick.2003. Effect of The Elements on Steel Properties (summary),VP Raw Material,Texas
7. Widharto Sri. 2001. Karat dan Pencegahannya, Pradnya Paramita, Jakarta

korosi

1. Pengertian Korosi

Korosi adalah reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari, korosi disebut perkaratan. Contoh korosi yang paling lazim adalah perkaratan besi.Pada peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (udara) mengalami reduksi. Karat logam umumnya adalah berupa oksida dan karbonat. Rumus kimia karat besi adalah Fe2O3. xH2O, suatu zat padat yang berwarna coklat-merah.
Korosi merupakan proses elektrokimia. Pada korosi besi, bagian tertentu dari besi itu berlaku sebagai anode, di mana besi mengalami oksidasi.
Fe(s) ↔ Fe2+(aq) + 2e Eº = +0.44 V
Elektron yang dibebaskan di anode mengalir ke bagian lain besi itu yang bertindak sebagai katode, di mana oksigen tereduksi.
O2(g) + 2H2O(l) + 4e ↔ 4OH-(aq) Eº = +0.40 V
atau
O2(g) + 4H+(aq) + 4e ↔ 2H2O(l) Eº = +1.23 V
Ion besi(II) yang terbentuk pada anode selanjutnya teroksidasi membentuk ion besi(III) yang kemudian membentuk senyawa oksida terhidrasi, Fe2O3. xH2O, yaitu karat besi. Mengenai bagian mana dari besi itu yang bertindak sebagai anode dan bagian mana yang bertindak sebagai katode, bergantung pada berbagai faktor, misalnya zat pengotor, atau perbedaan rapatan logam itu.

2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Korosi Besi
Korosi besi memerlukan oksigen dan air.

3.Pengaruh Logam Lain terhadap Korosi Besi
Dari kehidupan sehari-hari kita ketahui bahwa besi yang dilapisi dengan zink “tahan karat”, sedangkan besi yang kontak dengan tembaga berkarat lebih cepat.

4.Cara-cara Pencegahan Korosi Besi
Besi adalah logam yang paling banyak dan paling beragam penggunaannya. Hal ini terjadi karena beberapa hal, diantaranya:
Kelimpahan besi di kulit bumi cukup besar,
Pengolahan relatif mudah dan murah, dan
Besi mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan dan mudah dimodifikasi
Salah satu kelemahan besi adalah mudah mengalami korosi. Korosi menimbulkan banyak kerugian karena mengurangi umur pakai berbagai barang atau bangunan yang menggunakan besi atau baja. Sebenarnya korosi dapat dicegah dengan mengubah besi menjadi baja tahan karat (stainless steel), akan tetapi proses ini terlalu mahal untuk kebanyakan penggunaan besi.
Cara-cara pencegahan korosi besi, yaitu :
1. Pengecetan. Jembatan, pagar dan railing biasanya dicat. Cat menghindarkan kontak dengan udara dan air. Cat yang mengandung timbel dan zink (seng) akan lebih baik, karena keduanya melindungi besi terhadap korosi.
2. Pelumuran dengan Oli atau Gemuk. Cara ini diterapkan untuk berbagai perkakas dan mesin. Oli dan gemuk mencegah kontak dengan air.
3. Pembalutan dengan Plastik. Berbagai macam barang, misalnya rak piring dan keranjang sepeda dibalut dengan plastik. Plastik mencegah kontak dengan udara dan air.
4. Tin Plating (pelapisan dengan timah). Kaleng-kaleng kemasan terbuat dari besi yang dilapisi dengan timah. Pelapisan dilakukan secara elektrolisis, yang disebut tin plating. Timah tergolong logam yang tahan karat. Akan tetapi, lapisan timah hanya melindungi besi selama lapisan itu utuh (tanpa cacat). Apabila lapisan timah ada yang rusak, misalnya tergores, maka timah justru mendorong/mempercepat korosi besi. Hal itu terjadi karena potensial reduksi besi lebih negatif daripada timah (Eº Fe = -0,44 volt; Eº Sn = -0,44 volt). Oleh karena itu, besi yang dilapisi dengan timah akan membentuk suatu sel elektrokimia dengan besi sebagai anode. Dengan demikian, timah mendorong korosi besi. Akan tetapi hal ini justru yang diharapkan, sehingga kaleng-kaleng bekas cepat hancur.
5. Galvanisasi (pelapisan dengan zink). Pipa besi, tiang telpon dan berbagai barang lain dilapisi dengan zink. Berbeda dengan timah, zink dapat melindungi besi dari korosi sekalipun lapisannya tidak utuh. Hal ini terjadi karena suatu mekanisme yang disebut perlindungan katode. Oleh karena potensial reduksi besi lebih positif daripada zink, maka besi yang kontak dengan zink akan membentuk sel elektrokimia dengan besi sebagai katode. Dengan demikian besi terlindungi dan zink yang mengalami oksidasi. Badan mobil-mobil baru pada umumnya telah digalvanisasi, sehingga tahan karat.
6. Chromium Plating (pelapisan dengan kromium). Besi atau baja juga dapat dilapisi dengan kromium untuk memberi lapisan pelindung yang mengkilap, misalnya untuk bumper mobil. Chromium plating juga dilakukan dengan elektrolisis. Sama seperti zink, kromium dapat memberi perlindungan sekalipun lapisan kromium itu ada yang rusak.
7. Sacrificial Protection (pengorbanan anode). Magnesium adalah logam yang jauh lebih aktif (berarti lebih mudah berkarat) daripada besi. Jika logam magnesium itu akan berkarat tetapi besi tidak. Cara ini digunakan untuk melindungi pipa baja yang ditanam dalam tanah atau badan kapal laut. Secara periodik, batang magnesium harus diganti.

5.Korosi Aluminium
Aluminium, zink, dan juga kromium, merupakan logam yang lebih aktif daripada besi. Jika demikian, mengapa logam-logam ini lebih awet? Sebenarnya, aluminium berkarat dengan cepat membentuk oksida aluminium (Al2O3). Akan tetapi, perkaratan segera terhenti setelah lapisan tipis oksida terbentuk. Lapisan itu melekat kuat pada permukaan logam, sehingga melindungi logam di bawahnya terhadap perkaratan berlanjut.
Lapisan oksida pada permukaan aluminium dapat dibuat lebih tebal melalui elektrolisis, proses yang disebut anodizing. Aluminium yang telah mengalami anodizing digunakan untuk membuat panci dan berbagai perkakas dapur, bingkai, kerangka bangunan (panel dinding), serta kusen pintu dan jendela. Lapisan oksida aluminium lebih mudah dicat dan member warna yang lebih terang.

Pengertian korosi

1. Pengertian Korosi

Korosi adalah reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari, korosi disebut perkaratan. Contoh korosi yang paling lazim adalah perkaratan besi.Pada peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (udara) mengalami reduksi. Karat logam umumnya adalah berupa oksida dan karbonat. Rumus kimia karat besi adalah Fe2O3. xH2O, suatu zat padat yang berwarna coklat-merah.
Korosi merupakan proses elektrokimia. Pada korosi besi, bagian tertentu dari besi itu berlaku sebagai anode, di mana besi mengalami oksidasi.
Fe(s) ↔ Fe2+(aq) + 2e Eº = +0.44 V
Elektron yang dibebaskan di anode mengalir ke bagian lain besi itu yang bertindak sebagai katode, di mana oksigen tereduksi.
O2(g) + 2H2O(l) + 4e ↔ 4OH-(aq) Eº = +0.40 V
atau
O2(g) + 4H+(aq) + 4e ↔ 2H2O(l) Eº = +1.23 V
Ion besi(II) yang terbentuk pada anode selanjutnya teroksidasi membentuk ion besi(III) yang kemudian membentuk senyawa oksida terhidrasi, Fe2O3. xH2O, yaitu karat besi. Mengenai bagian mana dari besi itu yang bertindak sebagai anode dan bagian mana yang bertindak sebagai katode, bergantung pada berbagai faktor, misalnya zat pengotor, atau perbedaan rapatan logam itu.

2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Korosi Besi
Korosi besi memerlukan oksigen dan air.

3.Pengaruh Logam Lain terhadap Korosi Besi
Dari kehidupan sehari-hari kita ketahui bahwa besi yang dilapisi dengan zink “tahan karat”, sedangkan besi yang kontak dengan tembaga berkarat lebih cepat.

4.Cara-cara Pencegahan Korosi Besi
Besi adalah logam yang paling banyak dan paling beragam penggunaannya. Hal ini terjadi karena beberapa hal, diantaranya:
Kelimpahan besi di kulit bumi cukup besar,
Pengolahan relatif mudah dan murah, dan
Besi mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan dan mudah dimodifikasi
Salah satu kelemahan besi adalah mudah mengalami korosi. Korosi menimbulkan banyak kerugian karena mengurangi umur pakai berbagai barang atau bangunan yang menggunakan besi atau baja. Sebenarnya korosi dapat dicegah dengan mengubah besi menjadi baja tahan karat (stainless steel), akan tetapi proses ini terlalu mahal untuk kebanyakan penggunaan besi.
Cara-cara pencegahan korosi besi, yaitu :
1. Pengecetan. Jembatan, pagar dan railing biasanya dicat. Cat menghindarkan kontak dengan udara dan air. Cat yang mengandung timbel dan zink (seng) akan lebih baik, karena keduanya melindungi besi terhadap korosi.
2. Pelumuran dengan Oli atau Gemuk. Cara ini diterapkan untuk berbagai perkakas dan mesin. Oli dan gemuk mencegah kontak dengan air.
3. Pembalutan dengan Plastik. Berbagai macam barang, misalnya rak piring dan keranjang sepeda dibalut dengan plastik. Plastik mencegah kontak dengan udara dan air.
4. Tin Plating (pelapisan dengan timah). Kaleng-kaleng kemasan terbuat dari besi yang dilapisi dengan timah. Pelapisan dilakukan secara elektrolisis, yang disebut tin plating. Timah tergolong logam yang tahan karat. Akan tetapi, lapisan timah hanya melindungi besi selama lapisan itu utuh (tanpa cacat). Apabila lapisan timah ada yang rusak, misalnya tergores, maka timah justru mendorong/mempercepat korosi besi. Hal itu terjadi karena potensial reduksi besi lebih negatif daripada timah (Eº Fe = -0,44 volt; Eº Sn = -0,44 volt). Oleh karena itu, besi yang dilapisi dengan timah akan membentuk suatu sel elektrokimia dengan besi sebagai anode. Dengan demikian, timah mendorong korosi besi. Akan tetapi hal ini justru yang diharapkan, sehingga kaleng-kaleng bekas cepat hancur.
5. Galvanisasi (pelapisan dengan zink). Pipa besi, tiang telpon dan berbagai barang lain dilapisi dengan zink. Berbeda dengan timah, zink dapat melindungi besi dari korosi sekalipun lapisannya tidak utuh. Hal ini terjadi karena suatu mekanisme yang disebut perlindungan katode. Oleh karena potensial reduksi besi lebih positif daripada zink, maka besi yang kontak dengan zink akan membentuk sel elektrokimia dengan besi sebagai katode. Dengan demikian besi terlindungi dan zink yang mengalami oksidasi. Badan mobil-mobil baru pada umumnya telah digalvanisasi, sehingga tahan karat.
6. Chromium Plating (pelapisan dengan kromium). Besi atau baja juga dapat dilapisi dengan kromium untuk memberi lapisan pelindung yang mengkilap, misalnya untuk bumper mobil. Chromium plating juga dilakukan dengan elektrolisis. Sama seperti zink, kromium dapat memberi perlindungan sekalipun lapisan kromium itu ada yang rusak.
7. Sacrificial Protection (pengorbanan anode). Magnesium adalah logam yang jauh lebih aktif (berarti lebih mudah berkarat) daripada besi. Jika logam magnesium itu akan berkarat tetapi besi tidak. Cara ini digunakan untuk melindungi pipa baja yang ditanam dalam tanah atau badan kapal laut. Secara periodik, batang magnesium harus diganti.

5.Korosi Aluminium
Aluminium, zink, dan juga kromium, merupakan logam yang lebih aktif daripada besi. Jika demikian, mengapa logam-logam ini lebih awet? Sebenarnya, aluminium berkarat dengan cepat membentuk oksida aluminium (Al2O3). Akan tetapi, perkaratan segera terhenti setelah lapisan tipis oksida terbentuk. Lapisan itu melekat kuat pada permukaan logam, sehingga melindungi logam di bawahnya terhadap perkaratan berlanjut.
Lapisan oksida pada permukaan aluminium dapat dibuat lebih tebal melalui elektrolisis, proses yang disebut anodizing. Aluminium yang telah mengalami anodizing digunakan untuk membuat panci dan berbagai perkakas dapur, bingkai, kerangka bangunan (panel dinding), serta kusen pintu dan jendela. Lapisan oksida aluminium lebih mudah dicat dan member warna yang lebih terang.